Menolak Vaksin COVID-19. Bagaimana Konsekuensinya?

Penulis : ARDI KIROM, S.H,
Pemerhati Kesehatan Nasional
Mahasiswa Magister Hukum Universitas Hang Tuah Surabaya

BAROMETERSULUT.com – Indonesia sedang mengalami Kedaruratan Kesehatan Masyarakat yang ditandai dengan penyebaran penyakit menular yaitu Covid 19, sehingga pertengahan November 2020 pemerintah berencana melakukan vaksinasi Covid19 pada 9,1 juta masyarakat Indonesia dengan menggunakan vaksin Sinovac, Sinopharm (G24), dan Cansino asal Cina. Covid 19 adalah penyakit pernapasan yang disebabkan oleh virus SARS-CoV-2.

Gejala umum orang yang terinfeksi virus Corona (Covid 19) di antaranya demam, batuk, dan sesak napas. Dalam masa inkubasi orang yang sudah terinfeksi virus ini akan mengalami Pneumonia atau penyakit pernafasan akut berat. Namun, banyak pula orang yang telah terinfeksi tapi tidak menunjukkan gejala-gejala tersebut.

Salah satu upaya yang sedang dikembangkan untuk mencegah penyakit Covid 19 ini adalah pembuatan vaksin guna membuat imunitas dan mencegah transmisi namun upaya ini bukan tidak mungkin mendapat resistensi atau pertentangan di masyarakat. Beberapa faktor yang menjadi pertanyaan masyarakat diantaranya, faktor keamanan dan kehalalan produk vaksin tersebut serta bagaimana pertanggung jawaban pemerintah apabila ditemukan dampak negatif yang terjadi di masyarakat akibat pemakaian vaksin Covid 19 tersebut. Pada artikel ini penulis akan membahas peraturan perundang-undangan dan teori hukum yang relevan dengan permasalahan tersebut.

Vaksinasi, merupakan suatu imunisasi aktif, yaitu tindakan yang dengan sengaja memberikan paparan antigen dari suatu patogen yang akan menstimulasi sistem imun dan menimbulkan kekebalan sehingga nantinya orang yang telah mendapatkan vaksinasi tidak akan sakit jika terpapar oleh antigen serupa, dengan memproduksi limfosit yang peka, antibodi, maupun sel memori.[1] Pengembangan vaksin dalam keadaan pandemik mengalami beberapa pemendekan fase mengingat keadaan mendesak untuk segera dilakukan, dan pengambilan keputusan terkait kandidat yang akan dilibatkan harus dilakukan segera. Selain itu, evaluasi uji klinis pada manusia dapat dipertimbangkan melalui kewenangan darurat oleh badan internasional seperti WHO termasuk menentukan jalur pengaturan dan penunjukan perusahaan berskala besar. 

Vaksin yang dibuat untuk mengantipasi virus Corona diharapkan telah melewati berbagai pengujian untuk keamanan dan efektifitasnya. Mulai dari pengujian in vitro dan in vivo, lalu dilanjutkan uji klinis, dengan 3 fase. Fase 1 dengan kandidat terbatas, fase 2 dengan ratusan kandidat dan fase 3 dengan ribuan kandidat, sebagian mendapat vaksin dan sebagian mendapat placebo. Vaksin Covid 19 yang sedang on progress dalam riset disebutkan dalam jurnal “Virus Research” ada beberapa platform beserta dengan persentasenya diantaranya; Live Attenuated Vaccine (LAV) /the whole virus (keseluruhan virus yang dilemahkan) 2%, Inactivated Virus Vaccine (virus inaktif) 6%, Sub-unit Vaccine 33%, Viral vector based vaccine 21%, DNA Vaccines 8%, dan RNA Vaccines 13%. Masing-masing jenis virus ini memiliki kelebihan dan keterbatasan.

Baca juga:  Bupati Joune Ganda Janji Segera Tuntaskan Aset Bergerak, Yang 'Kumabal' Kena Sangsi Tegas

Vaksin Covid 19 di Indonesia sendiri disebutkan dalam sumber reuters, Indonesia sedang dalam uji fase 3. Bersama 10 negara lainnya di antaranya Uni Emirat Arab, Bahrain, Peru, Maroko, Argentina, Yordania, Brazil, Serbia dan Pakistan, akan melewati fase 3 dengan 50.000 kandidat dengan vaksin tersebut.[2]  Tahapan berikutnya setelah melewati fase 3 adalah memperoleh persetujuan FDA, dan bila lulus dari FDA, maka vaksin dapat didistribusikan ke masyarakat. Setelah sampai pada masyarakat sendiri tetap perlu dilakukan monitoring keamanan dan efek samping obat untuk waktu bertahun-tahun.

Mayoritas penduduk Indonesia adalah muslim, sehingga produk vaksin yang akan diluncurkan ke masyarakat tentunya juga memperhitungkan faktor ini. Berdasarkan perspektif Islam penggunaan vaksin untuk mencegah penyakit dibolehkan menurut ajaran Islam asalkan memenuhi produk halal, kehalalannya terjaga, dan tidak menggunakan bahan dasar yang diharamkan oleh ajaran Islam. Vaksinasi akan meningkatkan respons imun spesifik terhadap patogen spesifik melalui terbentuknya antibodi yang akan berikatan dan menetralisir patogen tertentu.[3] Untuk mendapatkan label Halal, perusahaan farmasi harus mendapatkan sertifikat Halal dari MUI.

Pandemi Covid 19 merupakan masalah setiap negara di seluruh dunia, sehingga pemerintah Indonesia juga merasa perlu untuk memberikan solusi terbaik dalam penanganan Covid 19 di negeri ini.

Pemerintah menerbitkan Undang-Undang untuk mengatur penyelenggaraan Kekarantinaan Kesehatan. Ada beberapa pasal dalam Undang-Undang ini yang perlu diperhatikan. Undang-Undang No. 6 tahun 2018 tentang Kekarantinaan kesehatan pada pasal 9 ayat (1) menyebutkan bahwa “Setiap Orang wajib mematuhi penyelenggaraan Kekarantinaan Kesehatan”. Hal ini dapat dimaknai bahwa seluruh warga negara Indonesia atau Korporasi harus turut serta dan mematuhi kebijakan pemerintah dalam pelaksanaan karantina kesehatan. Kelanjutan dari penyelenggaraan karantina kesehatan tersebut adalah pemberian vaksin untuk mengendalikan laju penyakit ini. Pada pasal 15 ayat (2) “Tindakan Kekarantinaan Kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a berupa: Karantina, Isolasi, pemberian vaksinasi atau profilaksis, rujukan, disinfeksi, dan/atau dekontaminasi terhadap orang sesuai indikasi”. Dari sini dapat dipahami bahwa pemberian Vaksin adalah merupakan bagian dari tindakan kesehatan yang diambil pemerintah Indonesia untuk pencegahan Covid 19.

Pemberian vaksin diharapkan dapat dinikmati oleh seluruh masyarakat Indonesia. Pemerintah dalam hal ini dapat memberikan paksaan untuk setiap warga melaksanakan tindakan kekarantinaan dengan pemberian vaksin Covid 19 ini. Hal tersebut diatur dalam pasal 93 “Setiap orang yang tidak mematuhi penyelenggaraan Kekarantinaan Kesehatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) dan/atau menghalang-halangi penyelenggaraan Kekarantinaan Kesehatan sehingga menyebabkan Kedaruratan Kesehatan Masyarakat dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah).” Dengan demikian  telah jelas konsekuensi hukum yang akan diterima apabila menolak pemberian vaksinasi yang akan dilakukan pemerintah pada bulan November tahun 2020. Lantas bagaimana perlindungan bagi masyarakat sendiri dalam pelaksanaan kewajiban vaksin Covid 19. Dalam hal pertanggung jawaban pemerintah apabila ditemukan dampak negatif dari pemberian vaksin, menurut pandangan penulis dengan berlandaskan kepada Teori sarana perlindungan hukum menurut Philipus M. Hadjon yaitu sarana perlindungan hukum Represif yang bertujuan untuk menyelesaikan sengketa. Penanganan perlindungan hukum oleh pengadilan Umum dan Pengadilan Administrasi termasuk katagori perlindungan hukum ini, prinsip perlindungan hukum terhadap tindakan pemerintah bertumpu dan bersumber dari konsep tentang pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia dan prinsip negara hukum. Dengan mengacu kepada teori perlindungan hukum, dalam hal ini perlindungan hukum Represif, menurut penulis pemerintah dapat dimintai pertanggungjawaban hukum apabila terjadi hal-yang tidak dikehendaki oleh masyarakat dalam pemberian vaksin covid 19 tersebut. Dengan demikian tujuan pemerintah untuk mengeradikasi penyakit covid 19 dan dengan diiringi perlindungan hukum bagi warganya dalam melaksanakan ketentuan tersebut dapat berjalan selaras untuk meningkatkan derajat kesehatan masyarakat Indonesia pada umumnya.(**)

Yuk! baca berita menarik lainnya dari BAROMETER SULU di GOOGLE NEWS dan Saluran WHATSAPP

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *