MINUT, BAROMETERSULUT.com – Polemik penolakan tambang di Pulau Bangka terus bergulir. Ada beberapa banyak alasan mengapa warga Pulau Bangka menyuarakan penolakannya atas kehadiran perusahaan tambang.
Pulau Bangka merupakan pulau kecil di Minahasa Utara (Minut), dengan luas hanya 3.319 hektar, yang terdiri dari empat desa yakni Lihunu, Libas, Kahuku dan Ehe. Pulau kecil seperti Bangka, memang belum bisa dijadikan lokasi pertambangan dalam jenis apapun, sesuai UU Nomor 1 Tahun 2014 tentang pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil.
Berbagai upaya pun dilakukan warga untuk menolak kehadiran perusahan tambang, mulai dari demonstrasi, membuat petisi online hingga menempuh jalur hukum.
Namun, perusahaan tambang biji PT Mikgro Metal Perdana (MMP) mengklaim mengantongi Ijin Usaha Pertambangan (IUP) yang mencapai 2.000 hektar atau lebih dari setengah luas lokasi.
Pada 24 September 2013, Mahkamah Agung (MA) memenangkan gugatan warga. Selanjutnya, pada 4 Maret 2015, permohonan peninjauan kembali dari Sompie Singal, Bupati Minut waktu itu, juga ditolak MA.
Kemudian, pertengahan bulan Juli 2015, PTUN Jakarta Timur kembali memenangkan pemohon warga pulau Bangka. Saat itu, mereka menggugat SK Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Nomor 3109/K/30/2014 mengenai izin produksi usaha pertambangan biji besi oleh perusahaan.
Pada masa pemerintahan Bupati Sompie Singal (2010-2015), peluang Perusahaan tambang PT MMP yang beroperasi di Pulau Bangka, Kecamatan Likupang Timur bisa berujung manis, namun masyarakat sekitar sebagian besar menolak keberadaan tambang tersebut, yang notabene diperjuangkan pemerintah saat itu untuk meloloskan beroperasinya tambang PT MMP.
Bahkan, sampai saat ini tahun 2020 masyarakat Pulau Bangka masih kecewa melihat begitu ngototnya pemerintah waktu itu untuk memuluskan PT MMP untuk eksplorasi di pulau kecil tersebut, sehingga masyarakat pun tetap bersih keras menolak keras dan jangan pernah ada tambang biji besi di pulau ini.
“Kami masyarakat sebagian besar nelayan, sementara kalau ada tambang gerukan tanah dan limbah dari atas turun ke laut, coba bayangkan bagaimana masyarakat nelayan disini akan hidup. Air laut sudah kabur ditambah limbah yang mengalir sudah pasti akan mencemari laut, padahal sehari-hari kami mencari makan dari laut,” ungkap Noftal Manoppe, Warga Desa Lihunu.
“Sebagai nelayan kami menolak tambang untuk melakukan aktivitas apapun di Pulau Bangka. Sejak dulu sebagian besar warga Pulau Bangka sudah menolak tambang biji besi, tapi memang ada upaya dari pemerintah waktu itu untuk meloloskan perusahaan tambang agar beroperasi padahal perwakilan sudah menggugat sampai di Jakarta. Makanya sekarang masyarakat sudah bersatu untuk menolak tambang,” tambah Noftal.
Diketahui, sejumlah penolakan terhadap tambang PT MMP di Pulau Bangka itu sudah dilakukan sejumlah badan atau wadah yang bergerak di bidang lingkungan hidup diantaranya Walhi, Green Peace dan lain sebagainya.(*/abx)