Oleh : Pdt. MAX EDWARD TONTEY (Pendeta Jemaat di GMIM ‘Taar Era’ Rumoong Atas).
Syaloom, Damai di Hati!
Kita mengenal banyak pemimpin besar dalam perjalanan sejarah dunia. Ada yang dikenang sebagai Pemimpin yang Bijaksana, dan tidak sedikit yang diingat sebagai Pemimpin yang Kejam.
Memang, pada dasarnya, setiap manusia dianugerahi kemampuan untuk memimpin. Mulai dari memimpin dirinya sendiri, orang-orang terdekatnya dan termasuk juga keluarganya.
Namun, jika ia telah memperluas jangkauan kepemimpinannya, semisal menjadi seorang pimpinan sebuah perusahaan atau ielompok organisasi massa, maka dibutuhkan kemampuan lahir batin yang mumpuni. Lahir, yakni fisik yang sehat, dan batin, yaitu pemikiran berhikmat dan naluri yang tulus. Intinya, menjadi seorang pemimpin dimulai dari memimpin diri sendiri, barulah dapat memimpin banyak orang.
Inilah yang dialami oleh Musa. Selaku pemimpin bagi bangsa Israel yang dikenan oleh TUHAN ALLAH, begitu banyak beban yang harus dipikul di pundaknya.
Perjuangan membawa bangsa Israel keluar dari Mesir, perjalanan di Padang Gurun dan kini, hendak memasuki Tanah Perjanjian, yaitu tanah Kanaan, Musa benar-benar membuktikan dirinya sebagai pemimpin yang taat, setia dan tangguh.
Namun, yang paling mendasar dalam kepemimpinan Musa, ia menyadari akan keterbatasannya sebagai pemimpin.
Meskipun TUHAN ALLAH menyertainya dengan bakat dan kecapakan untuk memimpin dan melayani bangsa Israel, Musa tidak menjadi besar kepala alias sombong.
Ia menyadari, bahwa janji TUHAN ALLAH untuk menambahi jumlah bangsa Israel seperti bintang di langit sudah terbukti (ayat 10). Bangsa Israel menjadi sangat banyak, keturunannya dari semua suku semakin bertambah, sehingga Musa seorang diri, tidak lagi mampu untuk memikul tanggung jawab dalam menghakimi bangsa Israel.
Tugasnya sebagai pemimpin, salah satunya ialah seorang Hakim, yang menyatakan dan menjaga wibawa Hukum Taurat agar dilaksanakan oleh segenap bangsa Israel dengan lurus dan tegas.
Seorang Hakim, memiliki fungsi spiritualitas untuk mengatur, mengarahkan dan membina bangsa Israel, juga bertindak sebagai penengah ketika terjadi masalah atau perkara antar sesama bangsa itu. Dan, sepenuh tenaga Musa melaksanakan semua tanggung jawab tersebut.
Tampaknya dalam perjalanan waktu, diri Musa pun terbatas. Ia kemudian tahu persis, bahwa jumlah bangsa Israel yang semakin banyak, jadi ia pun seorang diri tidak sanggup atau mampu untuk melayani mereka sebagai Hakim (ayat 12).
Ia pun meminta bangsa Israel, kepada dua belas Suku, untuk mengemukakan atau menunjuk orang-orang yang bijaksana, berakal budi dan berpengalaman, agar dapat diangkat sebagai Kepala bagi mereka (ayat 13).
Kepala yang juga berfungsi sebagai Pemimpin dan Hakim, dalam cakupan sebagai Kepala Pasukan Seribu, Kepala Pasukan Seratus, Kepala Pasukan Lima Puluh, Kepala Pasukan Sepuluh dan sebagai pengatur Pasukan bagi suku masing-masing (ayat 14-15).
Mereka sebagai Kepala dan Hakim, diminta untuk dapat mengadili saudara sebangsanya dengan adil, tidak pandang bulu dan tidak gentar atau takut kepada siapapun, sebab Pengadilan adalah kepunyaan Allah (ayat 16-17).
Saudara-Saudara Kekasih di dalam KRISTUS, Teladan Musa sebagai seorang pemimpin, adalah contoh yang baik dari Karakter Pemimpin yang Bijaksana, Delegatif dan Tegas.
Bijaksana, dengan memahami akan dirinya sendiri yang tidak lagi sanggup untuk melayani bagitu banyak orang, maka ia tidak egois untuk mengakui keterbatasannya.
Delegatif, dengan membagi peranan kepemimpinan dan rasa percaya kepada orang lain, untuk menjalankan tugas dan tanggung jawab.
Tegas, dengan tetap memberikan standar kepemimpinan yang sesuai dengan kehendak TUHAN ALLAH, sesuai dengan perintah Hukum Taurat.
Selanjutnya, Musa juga menegaskan tentang karakter pemimpin yang hendak membantu dia, ialah seorang bijaksana, berakal budi, berpengalaman, adil, tidak pandang bulu dan tidak gentar terhadap siapapun juga, kecuali kepada TUHAN ALLAH.
Karakter pemimpin seperti ini adalah karakter yang ideal sesuai dengan kehendak TUHAN ALLAH. Pemimpin yang benar-benar berasal dari TUHAN, akan hidup dengan kehendak TUHAN dan menjadi berkat bagi orang-orang yang dipimpinnya.
Bukan sebaliknya, Pemimpin yang Sombong, Kejam, Curang, Jahat dan Diktator, menjadi figur yang tidak disukai oleh orang yang dipimpinnya.
Sebab, gaya dan karakter seperti itu, hanya akan membawa ketidakdamaian dan ketidaknyamanan dalam kehidupan yang akan dijalani.
Sementara itu, pemimpin di tengah keluarga, di tengah masyarakat, dalam pelayanan Gerejawi dan dalam pemerintahan, sesungguhnya harus bercermin, mendalami dan mengaktualisasikan keyakinan iman yang bersumber dari TUHAN ALLAH, bukan dari manusia.
Pada prinsipnya, pemimpin yang baik dan benar, akan senantiasa memimpin umat-NYA, rakyat-NYA, demi kepentingan orang banyak, bukan kepentingan pribadi.
Ia akan selalu mengedepankan tangan yang merangkul dan mempersatukan, bukan tangan yang menceraiberaikan dan memisahkan.
Ia tidak akan memilih atau memilah orang-orang yang dipimpinnya, apakah berstatus terpandang atau rakyat jelata.
Ia akan menegakkan hukum dan kebijakan dengan tegak lurus, tanpa suap menyuap atau pertimbangan kedekatan sosial.
Ia akan selalu berpikir dan bertindak jujur dan terbuka dalam situasi apapun, dan kepada siapapun juga.
Dan yang paling terutama pemimpin yang baik dan benar hanya dan akan selalu senantiasa bersandar hanya kepada TUHAN ALLAH.Amin!(***)